Total Tayangan Halaman

Tampilkan postingan dengan label aib. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label aib. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 Oktober 2013

Hitam


Baru saja saya memilih latar hitam sebelum saya mulai menulis ini semua. Kenapa? Mungkin sudah banyak yang tahu begitu sukanya saya pada warna hitam. Menurut saya hitam itu keren. Hitam itu kuat. Melambangkan kepercayaab diri dan kemandirian. Ah lebay ya? Saya bukan psikolog apalagi pengamat warna ko. Saya hanya merasakan saja. Merasa bahwa warna hitam itu keren, sementara ada orang di luar sana yang mengklaim bahwa hitam bukanlah warna, jadi tidak bisa dimasukkan ke dalam list "warna favorit" kalau lagi isi My Biodata di binder temen. Tapi saya tetap melakukannya kok. Dengan PD dan bangga saya tuliskan H-I-T-A-M di sana. Ada kan warna hitam di kotak crayon mu? Bersanding dengan warna lainnya di barisan kotak pensil warna? Yeah. Tanpa warna hitam, kumpulan crayon atau pensil warna itu pasti akan mengundang komplain konsumennya.

Kembali ke awal, masih di layar hitam gadget ber-cover hitam pula, saya kembali mencoba mengutarakan kesukaan saya pada warna yang satu ini. Sekarang saya mulai berpikir, adakah pengaruh dari kehidupan seseorang saat ia memilih warna kesukaannya? Misal seorang gadis cantik di sana yang dengan anggunnya memilah milih pakaian di sebuah department store dan pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada mini dress berwarna soft pink (atau baby pink? Itu terserah imaji kalian, yang penting saya mohon utk menyamakan imaji kita bahwa si gadis memilih warna pink karena di sini saya berlaku sebagai sutradara dari film yang tengah berputar di otak teman-teman semua). Pink. Warna kesukaan si gadis itu. Terbayang juga kan kepribadiannya? Pasti si gadis sangat manis dan imut. Mungkin ia sering kali tertawa riang. Selalu memamerkan senyum termanisnya saat lensa kamera membidiknya dengan atau tanpa kesadaran si gadis. Maksudnya candid gitu. Pink tadi merefleksikan kepribadiannya. Sepertinya begitu. Kan tadi saya nanya, bentar saya scroll ke atas dulu utk lihat persisnya pertanyaan saya, oke ketemu. adakah pengaruh dari kehidupan seseorang saat ia memilih warna kesukaannya?
Kalau memang ada, berarti hitam yang identik dengan kegelapan, kemuraman, dan nama-nama kesedihan lainnya juga merefleksikan kehidupan saya? Hehe jahatnya kalian yang menjawab iya.
Alhamdulillah hidup saya memang hitam ko. Hitam keren seperti batman :D

Saya pilihkan warna hitam untuk background note ini, (saya tulis draft di note hp.maklum terlalu larut untuk buka laptop) bukan tanpa alasan. Selain memang ya.. saya suka warna hitam, saya memang sedang merasa hitam. Hitam yang identik dengan kelam, bukan hitam-keren-seperti-batman. Saya sedang merasa useless. Sedang sering menggombali ALLAH dengan kata-kata manis sementara perbuatan saya bisa membuat orang meringis. Astagfirullah. Makanya saya memutuskan untuk menulis. Mencoba ungkapkan gundah gulana ini. Terlebih saya teringat kata-kata dari banyak teman yg memuji kepribadian saya, menganggap saya begitu baik. Oh jangan. Plis. Jangan.
Jangan anggap saya begitu putih seolah tak ada noktah hitam bertasbih.
Kalian tidak tahu betapa saya merasa hitam. Astagfirullah.
Entah, saya tidak tahu bagaimana mengakhiri tulisan ini. Maaf.

Hehe. Sekali lagi, saya suka warna hitam. Tapi semoga kelamnya hitam bukanlah yang tepat utk menggambarkan kehidupan saya. Tentu saya tidak mau noktah hitam tadi mengerak dan sulit untuk beranjak. Doakan saya ya hehe makasih :)
24 Ramadhan 1434H
Bentar lagi lebaran. Berharap maaf bersedia teman-teman berikan guna bantu si hitam ALLAH lunturkan.
Makasih lagi :)

*sebuah catatan lama, selang beberapa bulan yang lalu. Hari ini, 3 hari pasca disembelihnya Hero, semoga terpenggal pula Si Hitam aamiin

Sabtu, 31 Maret 2012

Dentophobia

Dulu, dulu sekali

Gadis kecil berbalut gaun tidur pink itu akhirnya menyerah. Dengan takut dan enggan, ia memasuki ruangan putih berukuran 3x3 meter persegi. Di sebelah kiri pintu masuk, wanita berambut sebahu berpakaian serba putih mengajaknya untuk duduk. Gadis kecil itu kembali meronta.
Kedua adiknya yang hanya berbeda usia 1 dan 3 tahun darinya mencibir. Payah, cemooh mereka. Ibunya masih dengan sabar merayu si gadis, "Ayo cabut giginya. Nanti abis dari sini ibu beliin teteh eskrim." Rayuan yang seharusnya bisa meluluhkan hatinya, nyatanya tak mempan.
Terpaksa sang Ayah bertindak. Digotonglah Ia ke bangku pemeriksaan di sebelah dokter Anna, wanita berambut sebahu tadi.

"Ayo, Fia, ga sakit ko. Kan dikasih es. Jadi ga kerasa apa-apa." - Dokter Anna, +- 30thn

"Payah nih si teteh mah, gitu doang nangis. Afi aja berani. Ga sakit tau. Dingin." - Afi, 3tahun, bocah jagoan.

Berteriaklah gadis kecil itu saat sang Dokter dengan mulusnya memainkan segala jenis senjata untuk menanggalkan gigi susu yang sudah waktunya terlepas dari tempat semula ia bertengger.

 ***

26 Maret 2012
Hari itu poliklinik Kantor Kehutanan cukup ramai. Mayoritas bertandang ke poligigi, lainnya bermaksud ke dokter Umum.
Poligigi, list antriannya kebanyakan anak-anak berusia 4-10 tahun. Hanya seorang gadis remaja berbalut shirt ungu yang ikut mengantri bersama ibunya.

"Boseeeeen. Nunggunya kelamaan. Kalo teteh masih usia balita, teteh udah guling-guling di lantai daritadi. Kalo sekarang teteh guling-guling, ntar dikira gila." keluh gadis itu.
Tak lama, tibalah gilirannya. Sebenarnya hatinya cenat-cenut untuk memasuki ruangan poligigi.
Tapi sepertinya ia malu dengan umur, jadi ia sembunyikan rasa takutnya dan melenggang masuk kemudian dengan percaya diri duduk di kursi pemeriksaan. 

Dokter Anna yang kini sudah berjilbab menghampirinya.
"Ini si teteh, Bu? yang dulu jerit-jerit? Udah gede ya. Berapa umurnya sekarang?"

"Iya dong. Baru kemaren 18tahun. Kado, Dok!"

"Waaah udah gede. Afi gimana kabarnya ya. Iya ini kadonya, diperiksain giginya."

Segera saja Dokter Anna mengambil berbagai macam senjata andalannya saat aku membuka mulut. Dan kemudian aku mulai meronta. Berontak. Bertanya macam-macam, apa yang akan dilakukan Dokter Anna pada mulut dan gigiku???

____________________________________________________


Kini
iyaaaaa. itu si tokoh utamanya tuh : "Aku".
Itu kisah nyata gue.

Gue takut banget ke dokter gigi. Malah kayanya ga cuma dokter gigi aja. Gue takut semua dokter. Gue takut pemeriksaan kesehatan. Gue takut disuntik. Gue takut rumah sakit. Gue takut senjata-senjata dokter itu menyentuh tubuh gueeee. Tidaaaaaaaaaak!!! #inilebay #tapibeneran

Oiya, satu lagi. Gue meronta dan banyak bertanya-tanya (alias banyak protes) tuh semata-mata karena sedang melakukan prosedur proteksi diri.
Siapa tau Dokter Anna asal gunain ke gigi padahal weaponnya salah.
Maksud hati ingin mencabut gigiku, apa daya malah ini yg beliau ambil:



Makanya gue selalu bertanya (dengan nada histeris dan terkesan interogating) "Itu apa??? Buat apa??"
Untungnya Dokter Anna udah hapal watak gue, jadi beliau dengan ramah dan sabarnya menghadapi cercaan bernada tanya gue itu, "ini Bor. Tuh nyemprot air kan. Buat nambal gigi kamu!"

Jadi, daripada dibilang penakut, biar lebih keren, mari kita sebut perilaku gue ini sebagai gejala dari sesuatu bertitel Dentophobia.
*mengalun Avril Lavigne-Keep Holding On dari kejauhan*

PS.:
buat Tegar, lelaki-kecil-berusia-6-tahun-yang-saat-itu-dicabut-giginya-di-sebelahku-dan-kemudian-memamerkan-kapas-yang-bertengger-anggun-di-mulutnya-kepadaku, semoga cepet tumbuh giginya! Biar kamu ga diledekin "OMPONG" sama teman-temanmu!
Kakak baik kan? Walaupun kamu sudah ngetawain kakak, kakak mendoakan yg baik-baik aja buat kamu, Ompong :))

salam dento,
SM :)