Perjalanan melelahkan bolak balik Bogor-Jakarta kota masing-masing 2 jam nyatanya membuatku jatuh hati. Meski buruk kesan pertama yang kudapati.
4 tahun kemudian, saat ini, aku kembali.
Duduk menunggu giliran perjalanan dengan hanya sepi menemani. Berlalu lalang orang di sekitar, maklum, jam pulang kerja. Begitu setiap hari. Arus Jakarta Bogor padat di petang hingga malam hari. Seperti saat ini.
Aku termasuk satu di antara ribuan pejuang ibu kota ini. Sempat kuhitung selama menunggu, sudah ada sekitar 7 rangkaian kereta melintas di jalur 2 Stasiun Tebet dalam 30 menit ku menunggu. 1 rangkaian terdiri dari 8 gerbong kereta. Tiap gerbong mampu menampung .... penumpang tanpa space. Then, there are should be ... passangers in 30 minutes. Yeah I'm a math geek.
Petang hari, stasiun pasti dipenuhi orang orang yg hendak pulang sudahi jerih payahnya menguras keringat sepanjang hari. Semua orang, terburu buru menuju peron 1 demi mengejar kereta tumpangannya agar segera tiba di rumah. Semua orang berebut masuk gerbong tiap kali ada rangkaian kereta datang. Ini yg seringkali membuat saya malas pulang ke Bogor di malam hari: bersaing dengan para pejuang ibu kota. Tapi sesuatu mengharuskan saya tiba di Bogor sebelum hari berganti. Alhasil, saya rela menunggu bermenit menit dengan harapan bisa menumpang di gerbong kereta yg relatif sepi.
Petang hari, peron 1 stasiun Tebet (stasiun pemberhentian manapun sepanjang rute menuju Bogor) pasti dipenuhi penumpang. Sementara peron 2 , tempat para penumpang menunggu kereta Bogor-Jakarta relatif sepi. Karena ya itu tadi, kebanyakan penumpang adalah perantau ibu kota yg berasal dari daerah penyangga seperti Bogor dan Depok.
Petang hari, dalam 2 tahun terakhir ini, saya termasuk penumpang yang selalu menunggu rangkaian kereta di peron 1 itu tadi. Biasanya saya menunggu sampai 3 rangkaian kereta. Rangkaian pertama, penuh. Rangkaian kedua, penuh bingiit. Rangkaian ketiga, ya lumayan, bisa berdiri.
Pengalaman 2 tahun saya kira cukup utk memahami riuh pikuk moda transportasi masal yang satu ini. Tapi seperti sebuah pepatah, "Semakin banyak tahu semakin banyak tidak tahu". Malam ini saya ditunjuki sesuatu. Sebuah fenomena yg membuat saya semakin jatuh hati.
Setelah hampir 1 jam menunggu dan melihat orang orang selalu menuju peron satu, saya dibuat bingung oleh penampakan ratusan orang yg berebut menuju peron 2 sambil berkata, "Balik itu balik." penumpang yg baru memasuki stasiun ataupun penumpang yang sudah menunggu di peron 1, mayoritas menuju peron 2. Saya bingung. Tapi saya stay cool.
"Hati hati di jalur 1 akan segera masuk commuterline tujuan akhir Stasiun Manggarai yang akan kembali menjadi Rangkaian Bogor."
"Sekali lagi, kepada para penumpang, hati-hati di jalur 1 akan segera masuk commuterline tujuan akhir Stasiun Manggarai yang akan kembali menjadi Rangkaian Bogor."
setelah pengumuman itu, semakin banyak penumpang menuju peron 1. Saya mikir. Tapi tetep stay cool.
Ketika commuterline yg dimaksud memasuki jalur 1 Stasiun Tebet, saya sadar. Saya ini amatir ternyata. Ngakunya anker (anak kereta) tapi gatau apa-apa. 2 tahun bergelut dgn kereta, ternyata belum cukup tuk bs pahami transportasi massal yg keren ini.
Jadi, kalo mau ke Bogor dari Tebet harusnya kan penumpang nunggu di peron 2 krn rute di jalur 2 itu Stasiun Tebet-Cawang-Kalibata-.....-Bogor. Sementara utk rute di jalur 1, setelah Stasiun Tebet itu Stasiun Manggarai-Cikini-...-Jakarta. Nah, utk si commuterline yg 'balik' ini, dia khusus sampe Manggarai aja. Kemudian rangkaian kereta akan langsung 'mundur' kembali menuju Bogor. Kereta di jalur 1 kan sepi banget. Leluasa bgt kalo mau duduk. Alhasil, penumpang tujuan Bogor lari ngejar kereta itu ke peron 1 biar bs duduk. Gapapa ke Manggarai dulu, toh nanti langsung balik lagi jadi arah Bogor.
Benar saja, ratusan orang yang tadi berpindah peron itu akhirnya berhasil duduk nyaman di rangkaian kereta yg baru tiba di jalur 1. Sementara saya masih anteng nunggu kereta Bogor di Jalur 2.
Yaudah gapapa, mungkin malam ini akan seperti 4 tahun silam. Seperti saat pertama kali menumpangi commuterline Jakarta-Bogor di petang hari April 2010 (saat itu namanya masih KRL Ekonomi AC). Berdiri berdesakkan bahkan membuat diri tetap di tempat meski kaki melayang. Serius, kaki saya sempat tidak menapak ke lantai kereta saking padatnya. Tapi nyatanya perjalanan melelahkan itu membuat saya jatuh hati pada KRL.
Ah, menunggu hampir sejam ini membuat saya kembali dan semakin jatuh cinta pada KRL.
Anak kereta amatiran