Gadis kecil berbalut gaun tidur pink itu akhirnya menyerah. Dengan takut dan enggan, ia memasuki ruangan putih berukuran 3x3 meter persegi. Di sebelah kiri pintu masuk, wanita berambut sebahu berpakaian serba putih mengajaknya untuk duduk. Gadis kecil itu kembali meronta.
Kedua adiknya yang hanya berbeda usia 1 dan 3 tahun darinya mencibir. Payah, cemooh mereka. Ibunya masih dengan sabar merayu si gadis, "Ayo cabut giginya. Nanti abis dari sini ibu beliin teteh eskrim." Rayuan yang seharusnya bisa meluluhkan hatinya, nyatanya tak mempan.
Terpaksa sang Ayah bertindak. Digotonglah Ia ke bangku pemeriksaan di sebelah dokter Anna, wanita berambut sebahu tadi.
"Ayo, Fia, ga sakit ko. Kan dikasih es. Jadi ga kerasa apa-apa." - Dokter Anna, +- 30thn
"Payah nih si teteh mah, gitu doang nangis. Afi aja berani. Ga sakit tau. Dingin." - Afi, 3tahun, bocahjagoan.
Berteriaklah gadis kecil itu saat sang Dokter dengan mulusnya memainkan segala jenis senjata untuk menanggalkan gigi susu yang sudah waktunya terlepas dari tempat semula ia bertengger.
***
26 Maret 2012
Hari itu poliklinik Kantor Kehutanan cukup ramai. Mayoritas bertandang ke poligigi, lainnya bermaksud ke dokter Umum.
Poligigi, list antriannya kebanyakan anak-anak berusia 4-10 tahun. Hanya seorang gadis remaja berbalut shirt ungu yang ikut mengantri bersama ibunya.
"Boseeeeen. Nunggunya kelamaan. Kalo teteh masih usia balita, teteh udah guling-guling di lantai daritadi. Kalo sekarang teteh guling-guling, ntar dikira gila." keluh gadis itu.
Tak lama, tibalah gilirannya. Sebenarnya hatinya cenat-cenut untuk memasuki ruangan poligigi.
Tapi sepertinya ia malu dengan umur, jadi ia sembunyikan rasa takutnya dan melenggang masuk kemudian dengan percaya diri duduk di kursi pemeriksaan.
Dokter Anna yang kini sudah berjilbab menghampirinya.
"Ini si teteh, Bu? yang dulu jerit-jerit? Udah gede ya. Berapa umurnya sekarang?"
"Iya dong. Baru kemaren 18tahun. Kado, Dok!"
"Waaah udah gede. Afi gimana kabarnya ya. Iya ini kadonya, diperiksain giginya."
Segera saja Dokter Anna mengambil berbagai macam senjata andalannya saat aku membuka mulut. Dan kemudian aku mulai meronta. Berontak. Bertanya macam-macam, apa yang akan dilakukan Dokter Anna pada mulut dan gigiku???
____________________________________________________
Kini
iyaaaaa. itu si tokoh utamanya tuh : "Aku".
Itu kisah nyata gue.
Gue takut banget ke dokter gigi. Malah kayanya ga cuma dokter gigi aja. Gue takut semua dokter. Gue takut pemeriksaan kesehatan. Gue takut disuntik. Gue takut rumah sakit. Gue takut senjata-senjata dokter itu menyentuh tubuh gueeee. Tidaaaaaaaaaak!!! #inilebay #tapibeneran
Oiya, satu lagi. Gue meronta dan banyak bertanya-tanya (alias banyak protes) tuh semata-mata karena sedang melakukan prosedur proteksi diri.
Siapa tau Dokter Anna asal gunain ke gigi padahal weaponnya salah.
Maksud hati ingin mencabut gigiku, apa daya malah ini yg beliau ambil:
Makanya gue selalu bertanya (dengan nada histeris dan terkesan interogating) "Itu apa??? Buat apa??"
Untungnya Dokter Anna udah hapal watak gue, jadi beliau dengan ramah dan sabarnya menghadapi cercaan bernada tanya gue itu, "ini Bor. Tuh nyemprot air kan. Buat nambal gigi kamu!"
Jadi, daripada dibilang penakut, biar lebih keren, mari kita sebut perilaku gue ini sebagai gejala dari sesuatu bertitel Dentophobia.
*mengalun Avril Lavigne-Keep Holding On dari kejauhan*
PS.:
buat Tegar, lelaki-kecil-berusia-6-tahun-yang-saat-itu-dicabut-giginya-di-sebelahku-dan-kemudian-memamerkan-kapas-yang-bertengger-anggun-di-mulutnya-kepadaku, semoga cepet tumbuh giginya! Biar kamu ga diledekin "OMPONG" sama teman-temanmu!
Kakak baik kan? Walaupun kamu sudah ngetawain kakak, kakak mendoakan yg baik-baik aja buat kamu, Ompong :))
salam dento,
SM :)