Total Tayangan Halaman

Minggu, 11 Desember 2011

Ke Rumah Tuhan


Bogor, 10 desember 2010

Aku baru saja keluar ruangan ujian dan merogoh isi tasku. Mencari handphone yang sedari tadi kusimpan di dalam tas. Ada 4 pesan baru muncul di layar SE K530i itu. Aku membukanya satu per satu.

Pengirim: ipa3.Dika (+628568432***)
Fir, no.1-15

Dika itu teman sekelasku. Maklum, sedang musim ujian semester dan para siswa sepertinya enggan menolak manfaat dari perkembangan teknologi yang semakin canggih dan menyesatkan. Saling kirim sms yang isinya tak jauh dari pertanyaan seputar jawaban ulangan sudah menjadi momok biasa dalam carut marut pendidikan di negaraku tercinta, Indonesia.
SMS pertama sampai ketiga kurang lebih isinya sama, menanyakan jawaban. Hingga aku tiba di pesan keempat. Dari teman SMP ku. Tidak mungkin kan dia juga menanyakan perihal jawaban ulangan? Kami bersekolah di tempat yang berbeda sekarang. 

Pengirim: Raina (+6285693154***)
Fir rama meninggal kasian febri

Singkat. Tanpa satupun tanda baca. Menohok. Dan cukup membuat jantung berdebar tak karuan. Aku lemas dan tak percaya. Tapi kukumpulkan tenaga dan kubalas cepat pesan singkat itu.

Kirim ke: Raina (+6285693154***)
bohong? Rama yang mana? Becanda kan?                                              

5 menit. 10 menit. Tidak ada balasan. Aku hubungi ponsel Raina tapi nihil. Aku hanya mendengar nada sambung yang tak kunjung berhenti hingga aku menyerah dan memutuskan panggilan. Kukirim ulang sms tadi.
30 menit berlalu dan handphone-ku tetap bergeming. Percuma. Tidak ada balasan. Mungkinkah isi pesan itu benar adanya? Aku teringat kembali momen yang telah lalu. Baru seminggu kurang 1 hari sejak kedatangan Febri ke rumahku.
***
Bogor, 4 Desember 2010

“Kenapa? Cerita dong. Ini tissue. Jangan malu malu. Nangis aja sepuasmu biar lega. Anggap saja rumah sendiri. Kan udah sering kesini.” Aku mulai bersuara. Mencoba mengganti suasana yang sedari tadi hanya diisi oleh senggukan tangis Febri.
“Rama... Rama.. marah sama aku. Katanya.. katanya... udah gabisa dilanjutin lagi..” jawab Febri terbata. “Dia pengen.. aku.. lebih manja. Tapi.. aku ga bisa.”
“Minum dulu. Rama ga kemana mana ko. Masih bisa berteman,” Hiburan yang klise, “udah sms Rama lagi?”
“Udah. Aku minta sekali lagi kesempatan. Aku minta seminggu buat berubah. Buat jadi manja. Tapi ga dikasih.”
“Aneh. Memutuskan hubungan yang udah 1 tahun lebih kalian jalani hanya karna kamu ga manja sama dia? Aneh. 5 hari deh.” Usulku dan langsung dibalas dengan gelengan kepala.
“Katanya, cukup 3 hari aja.”
“Nah! Yaudah gapapa. Kamu buktiin dalam 3 hari itu kalo kamu bisa jadi seseorang yang manja. Jadi cewe yang gelendotan sama pacarnya? Aneh.”
***
Bogor, 10 Desember 2010

Sekelebat ingatan itu cukup membuatku kembali terhenyak. Tidak ada yang tahu kapan kita harus kembali ke rumah Tuhan. Betapa kita tidak menyadari ada sesuatu yang janggal. Menyadari pesan dari sang calon almarhum yang akan meninggalkan dunia ini dalam waktu kurang dari 168 jam. Pantas saja Rama tak memberi waktu hingga seminggu seperti yang Febri pinta. Mungkinkah itu pesan terkahir Rama? Semuanya misteri. Tuhan telah merencanakannya.
Ya, ternyata benar Rama telah tiada. Bogor ini sempit dan kabar cepat menyebar. Siswa salah satu SMA negeri di Bogor tewas dalam sebuah kecelakaan ketika ia hendak berangkat ke sekolah. Tangisan keluarga dan kerabat tak mampu terbendung lagi, namun juga tak mampu dan tak bisa mengembalikan raga Rama ke sisi kami. Tapi jiwa Rama tetap kami simpan dalam relung hati masing-masing yang mengasihinya. Selamanya. Dalam sudut yang berbeda-beda.
Kenyataan yang cukup membuat aku tersadar bahwa aku belum di rumah. Bumi ini bukan tempat akhir aku seharusnya berada. Aku, temanku dan kita semua pasti kembali ke rumah Tuhan. Menyusul Rama.
Selamat jalan Rama.

Bandung, 29 Desember 2010
‏‎15:01:56 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar